Sabtu, 13 Maret 2010

Pengetahuan Dasar Etika Hindu

A. PENGERTIAN ETIKA HINDU
Etika (Ethic = Bahasa Inggris) artinya, susila, kesusilaan, ilmu akhlak (Wojowarsito, 1992.48). Sila adalah salah satu kerangka dasar ajaran agama Hindu (Tatwa, Sila Upacara) atau merupakan ajaran pertama dan utama dari Saptangga Dharma, yaitu :
1. Sila = Kesusilaan
2. Yadnya = Persembahan suci
3. Tapa = Pengendalian diri
4. Dana = Berderma
5. Prawrjya = Menyebarkan Dharma
6. Diksa = Upacara inisisai
7. Yoga = Menunggalkan diri dengan Tuhan

Pada Sloka Wrehaspati Tattwa No. 25 itu dijelaskan bahwa, “Sila ngaranya mangrakascara rahayu”, yang artinya Sila adalah menjaga perilaku/kebiasaan agar tidak menyimpang dari norma-norma kebenaran dan kebaikan. Dengan lain katanya, memelihara perangai yang baik dan benar menurut Dharma Agama dan sosial budaya. Suatu perilaku dikatakan etis apabila; sopan, pantas/wajar, baik, dan benar sesuai norma dan nilai yang berlaku. Sedangkan norma atau aturan tingkah laku yang baik dan mulia disebut Tata Susila. (Mantra; 1988.5).

B. DASAR-DASAR ETIKA HINDU
Semua etika agama berdasarkan keimanan. Etika Hindu berdasarkan keimanan Hindu yang disebut Sraddha. Keimanan Hindu adalah lima pilar dasar keimanan Hindu yang disebut Panca Sraddha, dapat dijelaskan sbb :
1. Widdhi sraddha sebagai dasar etika Hindu.
Karena yakin bahwa Tuhan berada dimana-mana dan selalu ada serta maha tahu, mengetahui semua yang tampak dan tk tampak, maka menjadi alasan atau dasar yang mendorong orang untuk selalu menjaga perilakunya agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan (Agama) dimana dan kapan pun, baik ada yang melihat maupun tidak. Walau hanya dalam angan atau pikiran saja semestinya tidak dibiarkan menyimpang karena Tuhan mengetahui apapun yang ada dalam pikiran manusia. Apalagi umat Hindu juga yakin bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang susila dan berbudi pekerti yang luhur.

2. Karena yakin dengan Atma adalah dewa yang memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang tidak dapat ditipu, maka timbul etika tidak boleh bohong.
“Sanghyang Atma sirata dewa ring sarira, manoning ala ayu tan keneng in imur-imur.”
Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik – buruk) tak dapat dikelabuhi (Sukantala . .)
Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka – Tunggal” artinya berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal.
Berdasarkan kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih rendah dan yang lebih muda. Berdasarkan keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua Atma adalah tunggal, melahirkan fialsafat “Tat Twam Asi” artinya dia adalah kamu : melandasi serta mendorong etika untuk saling menghargai satu sama lain. Tat Twam Asi juga landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu : “Arimbawa” maksudnya punya pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong, dapat memaafkan, sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur pada diri sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana seandainya aku diperlakukan artau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak enak, menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian : bila menyenangkan atau membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.

3. Karena yakin dengan Hukum Karma Phala bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat, maka orang menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu) termasuk menjaga pikiran.
“Yadiastun riangen-angen maphala juga ika”
Artinya, walaupun baru hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu (ss).
“Siapakari tan temung ayu masadana sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala”
Artinya, siapa yang tak akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan baik?
Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk (Arjuna 10.12.7). Keyakinan pada Karma Phala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala menumbuhkan Etika Hindu.

4. Berdasarkan keyakinan pada Punarbhawa bahwa, bila orang berperilaku buruk dalam hidupnya akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi manusia cacat bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan perilakunya, sebaiknya bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan baik, maka kelak ia akan lahir pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti menjadi manusia yang lebih rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan hidup yang lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya agar dapat menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik dalam segala hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah/lebih sengsara.

5. Karena yakin dengan adanya sorga yaitu alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat meinkmati suka cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik. Apalagi yakin dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada sorga yaitu menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda” atau “Suka tan pawali dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan duka, dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Etika atau sila semakin menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat dengan sorga dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk beretika, lebih semaangat untuk menegakkan sila dalam hidupnya.
Demikianlah dasar-dasar etika Hindu itu yang berpijak pada keimanan Hindu.

C. BENAR DAN SALAH
Berbicara soal benar dan salah dalam hubungan etika tidaklah seperti ilmu pasti. Ada yang memberikan batasan sebagai berikut :
“Segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Sang Hyang Widhi adalh benar, dan segala sesuatu yang menghalangi jalan ini adalah salah” (Mantra : 1983.91). Kalau kita berpikir secara hitam putih, maka dapat dikatakan sebagai berikut :
Benar adalah yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan semua yang melanggar norma adalah salah.
Norma itu adalah kaedah aturan, ada norma agama, ada norma hukum, norma kesusilaan, norma kewajaran, norma adat, dsb. Dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah cukup mengukur benar dan salah itu dari cara-cara yang hitam putih itu yang hanya bersandar pada norma-norma. Karena variasi permasalahan ada bermacam-macam, maka masih diberlakukan pertimbangan-pertimbangan yang dibarengi dengan analisa-analisa sehingga kesimpulan tentang benar dan salah itu bijak dan arif. Disamping menentukan benar dan salah dengan norma-norma yang ada, juga sangat perlu mempertimbangkan :
1. Apa sebabnya dan apa motifnya perbuatana itu?
2. Apa ekses atau dampak yang dapat ditumbulkan?
Kalau berpikir secara hitam-putih, membunuh orang adalah salah, mencuri, berbohong adalah salah. Tapi ada orang membunuh pembunuh menyerangnya, dalam keadaan terdesak dan tak ada jalan lain yang dapat dipilih untuk menyelamatkan masyarakat. Kalau kedua contoh permsalahan ini diukur dari norma-norma saja secara hitam putih cenderung hasilnya menjadi tidak benar. Berkenan dengan persoalan seperti ini ada berapa prinsip yang disebut prinsip-prinsip etika.

1. Prinsip-Prinsip Etika
a. Prinsip Kebebasan
Memberikan kepada setiap orang suatu kebebasan untuk menggunakan hak-haknya misalnya, hak untuk menjelsakan duduk persoalan yang sebenarnya, hak bertanya, hak untuk membela diri, hak untuk menentukan pilihan, dsb adalah etis (benar).
b. Prinsip Kebenaran
Seperti namanya prinsip ini lebih menekankan pada kebenaran, yang penting benar, masalah untung rugi adalah masalaha lain, masalah baik buruk adalah resiko. Jadi prinsip in mencari siapa dan apa yang benar, siapa, dan apa yang salah.
c. Prinsip Keadilan
Keadilan adalah memperlakukan orang secara seimbang, tapi nukan sama rata sama rasa. Karena adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kesalahan atau jasa yang diperbuatnya, juga sesuai menurut kedudukan masing-masing. Bila seseorang bersalah haknya adalah dihukum, sedangkan orang yang berjasa haknya adalah diberi penghargaan sesuai berat ringan kesalahan atau besar kecil jasa yang dilakukannya. Menghkum penjahat dan menghargai penjasa, adalah etis, sebaliknya tidak menghukum penjahat dan menekan penjasa adalah tidak etis. Dalam hal ini ada sloka “Tata manut lungguh” maksudnya, penghormatan dan tata krama masing-masing sesuai dengan posisi dan status masing-masing.
d. Prinsip Kerahasiaan
Prinsip ini adalah prinsip yang melihat dari segi derajat kerahasiaan sesuatu. Setiap orang punya rahasia pribadi masing-masing. Tidaklah etis membeberkan rahasia orang tidak pada tempatnya, kecuali memang hal rahasia itu yang dibahas. Maling kawakan pun dibilang maling, akan tersinggung. Tidak etis apabila mengatakan orang maling di muka umu bila permasalahan yang sedang dibahas tidak ada sangkut pautnya dengan predikat maling itu.
e. Prinsip Tidak Merugikan
Prinsip ini berpatokan asal tidak merugikan orang lain. Apapun perbuatan seseorang yang penting tidak merugikan orang lain, maka tidaklah tidak etis.
f. Prinsip Menguntungkan
Prinsip ini berorientsi pada keuntungan. Apapun perbuatan itu asal menguntungkan para pihak atau orang banyak dianggp etis.

2. Hita Tan Hita Wasana
Pada akhirnya ukuran benar dan salah dalam etika Hindu adalah “Hita tan hita wasana”. Prinsipnya adalah berorientasi pada hasil akhir.
Wasana artinya akibat, efek, atau dampak.
Hita artinya serba baik seperti aman, damai, sejahtera, dsb.
Adapun perbuatan, tindakan atau putusan yang diambil asal menyebabkan aman sejahtera (hita wasana) adalah benar. Sebaliknya walaupun secara de fakto dan de yure benar, tapi menimbulkan dampak yang merusak hubungan atau berakibat tidak baik bagi para pihak dan orang banyak adalah salah.
Suatu contoh dalam Sarasamuscaya diuraikan sebagai berikut ini, yaitu :
Artinya : “Mon mithya ikang ujar, teher mengede hita juga, magawe sukha wasana ring sarwabhawa, sadhu ngaranya, mon yata bhuta towi yan tan pangede sukhawasana ring sarwabhawa, mithya garanika.”
Sekalipun sesungguhnya bohong kata-kata itu, tapi betul-betul menimbulkan hita juga, menyebabkan bahagianya berbagai makhluk itu jujur disebut. Walaupun jelas sesuai kenyataan sekalipun, bila tidak menyebabkan senang hati semua makhluk pada hakekatnya bohong itu.
(SS, 134)

Singkatnya, bila membawa “Hita wasana” benar, bila tidak “Hita wasana” salah.

D. NILAI ETIKA DALAM AJARAN HINDU
Agama Hindu sangat menjunjung tinggi sila (etika). Kitab Wrehaspati Tattwa meletakkan sila nomor satu pada ajaran dharma bukanlah suatu kebetulan. Melainkan mempunyai arti strategis bahwa di antara tujuh bagian dharma (sila, yajna, tapa, dana, prawrejya, diksas, dan yoga) sila adalah yang pertama dan utama. Tanpa sila yang lain tak akan ada artinya dan tak akan berhasil. Hidup ini pun tak ad artinya bila tidak diemban dengan sila. Tak ada artinya kaya, sakti, jabatan tinggi, rupawan, dsb bila tanpa sila. Perilaku yang bertentangan dengan sila disebut asusila atau dursila akan menghilangkan nama baik bahkan jatuh menjadi nica (orang rendahan). Orang yang demikian hakekatnya mati walaupun masih bernapas dan kuat lincah. Lalu apa artinya kekayaan, jabatan tinggi, kesaktian, dll bila tanpa sila.
“Sila ktikang predhana ring dadi wwang”, yang artinya kemulyaan orang terletak pada silanya.
(SS, 160)
Bila sila/etika baik, walupun ia berasal dari kalangan masyarakat bawah miskin, kurang pintar, masih muda, dia adalah orang mulia yang patut dihormati. Sebaliknya walaupun ia dari bangsawan tinggi kaya pintar, jabatan tinggi, sakti berumur, tapi asusila/dursila sesungguhnya dia orang rendahan dan tak patut dihormati.
(SS, 161)
Pada jaman Krtha Yuga, manusia sangat mulia dan yang diutamakan pada jaman ini adalah tapa disebutkan “Tapah param kertha yuge”, artinya tapa adalah yang paling utama pada jaman Krtha Yuga; siapa yang lebih mampu melakukan tapa (mengendalikan diri) dia yang dianggap paling mulia dan paling dihormati.
(M. Dh, 1.86)
Memang hsil tapa-brata itu sangat tinggi nilainya; hampir semua tokoh-tokoh Hindu seperti para Maha Rsi di jaman yang lampau lahir dari Tapa Brata, maksudnya menjadi besar dan sangat mulia karena hasil tapanya. Namun Bh. Brgu tetap meletakkan sila sebagai yang terbaik.
Artinya : “Sarwasya tapasomulam acaram jagrhuh param”
Dari semua hasil Tapa Brata dan lain sebagainya, tetap perbuatan baik (sila) adalah yang terbaik.
(M. Dh. 1.11C)
II. BEBERAPA AJARAN ETIKA HINDU

A. CATUR PRAWERTHI
Catur Prawerthi adalah empat perilaku mulia yang dianjurkan dalam ajaran etika Hindu.
1. Arjawa
“Arjawa si duga-duga bener”, artinya Arjawa adalah benar-benar lurus atau benar-benar jujur. Sama sekali tidak ada maksud untuk menyimpang dari kebenaran. “Apaksa Partha” artinya tidak berdiplomasi untuk mendapatkan pembenar dalam mengelabui kebenaran. Arjawa merupakan penyucian pikiran (Manacika Parisudha).
“Mamah Satyena Sudhayati”, artinya pikiran diparisudha atau disucikan dengan kejujuran.
(M. Dh. V. 109)

2. Anresamsya
“Anresamsya ngaranya, si arimbawa, tan swartha kewala, nging parartha”, artinya Anresamsya adalah arimbawa, tidak mendahulukan atau mementingkan diri sendiri, melainkan mendahulukan kepentingan orang banyak. (SS. 259). Berarti orang yang Anresamsya, tidak egois, bersifat sosial, dan demokratis. Dia mendengar dan menerima/menghargai pendapat masyarakat. Sehingga ada kecenderungan memperoleh “Kajana nuragan” artinya dicintai oleh masyarakat.

3. Dama
“Dama ngaranya, wruh miluluri awaknya, tumang guha awaknya”
(SS. 254)
Artinya, yang disebut Dama adalah bisa menasehati dan menyalahkan diri sendiri. Bisa menertawakan diri sendiri, apalagi mampu menyadarkan diri (matuturi) adalah orang bijaksana dan akan menumbuhkan kearifan pribadi. Orang yang dama akan menjadi “danta” artinya kepribadiannya suci.
Sarasamuscaya menjelaskan bahwa pada hakekatnya bukanlah orang yang membasahi dirinya dengan air disebut mandi, melainkan ia yang danta (suci) karena dama-lah disebut mandi yang sesungguhnya.
4. Indriya Nigraha
“Indriya nigraha ngaranya, humeret indriya tan wineh ri wisayannya”, artinya Indriya nigraha adalah mengekang atau mengendalikan indriya, tidak mengumbar nafsu untuk menikmati kesenangannya.
(SS. 63)
Bila indriya terkendali hakekatnya adalah sorga, tapi bila tidak terkendali hakekatnya adalah neraka.
(SS. 71)
Pahala orang yang dapat mengendalikan indriya sedikitnya ada 7 macam, yaitu :
a. Kadirgha yusan : panjang umur
b. Ulah rahayu : perilaku menjadi baik dan benar
c. Pagehing yoga : teguh melaksanakan yoga
d. Kasaktin : memperoleh kekuatan batin
e. Yasa : buah ibadah, nama baik
f. Dharma : memiliki kebenaran dan keadilan
g. Artha : menjadi hartawan, keberhasilan. (SS. 72)

B. DASA KARMA PATHA
Dasa Karma Phala adalah sepuluh pengendalian gerak/karma, yang terdiri dari 4 pengendalian Sabda ( kata-kata), 3 pengendalian Bayu (perilaku), dan 3 Idep (pikiran).
1. Pengendalian Sabda :
a. Tan ujar Ahala : tidak berkata-kata jahat dan tidak berkata-kata jorok
b. Tan ujar apergas : tidak berkat-kata kasar (keras bernada marah)
c. Tan ujar pisuna : tidak memfintah
d. Tan ujar mithya : tidak berkata bohong. (SS. 75)

2. Pengendalian Bayu :
a. Tan anghala-hala : tidak berbuat jahat/kejam
b. Tan amati-mati : tidak membunuh
c. Tan paradara : tidak berzinah. (SS. 76)

3. Pengendalian Idep :
a. Tan engin mwang dengkya ri drebyaning len :
tidak dengki dan menginginkan pada milik orang lain
b. Tan krodha ring sarwa satwa :
tidak membunuh makhluk lain
c. Mamituhwa hanaring karma – phala :
yakin adanya hukum karma. (SS. 74)

Berkenaan dengan “Anghala-hala dan ujar ahala” (berbuat jahat) ada Upanisad menjelaskan sebagai berikut :
“Orang yang berkata secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan kejahatan. Itu adalah benar-benar sutu kejahatan.”
(Brh. Ary. Up. III. 2)
“Orang yang bernapsa secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan suatu kejahatan, itu benar-benar suatu kejahatan.”
(Brh. Ary. Up. III. 3)
“Orang yang melihat sesuatu secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan suatu kejahatan. Itu benar-benar suatu kejahatan.”
(Brh. Ary. Up. III. 4)
“Orang yang mendengarkan sesuatu secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan suatu kejahatan. Itu benar-benar suatu kejahatan.”
(Brh. Ary. Up. III. 5)
“Orang yang berpikir secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan suatu kejahatan. Itu benar-benar suatu kejahatan.”
(Brh. Ary. Up. III. 6)
Berkenaan dengan “Tan amati-mati” ada pengecualian, yaitu :
a. Dharma Wigata = Boleh membunuh demi kepentingan dharma, misalnya untuk Yadnya, membunuh musuh demi tegaknya dharma, dll.
b. Yoga Wigata = Boleh membunuh untuk keselamatan jiwa/diri sendiri, misalnya membunuh orang yang ingin membunuh diri kita, membunuh binatang-binatang yang membahayakan kesehatan/jiwa, dll.
C. PUNYA KARMA DAN KARMA PAPA
Punya Karma adalah karma yang menjadi sebab adanya pahala yang baik, seperti “ibadah yang berhasil”. Misalnya, Satwika Yadnya yang berhasil, Brata Siwa Ratri yang berhasil, Yoga yang berhasil, dsb. Berhasil disini dimaksudkan, tulus memenuhi segala persyaratan sehingga menurut hukumnya membawa pahala yang positif.
Sedangkan Karma Papa adalah karma yang menimbulkan keterikatan dan kesengsaraan. Jadi, Karma Papa identik dengan dosa. Dosa disebut juga “Pataka” yang selalu membawa bencana. Tujuan hidup manusia adalah untuk membebaskan diri dari papa yang dapat disamakan dengan “Papa neraka”, artinya terikat, hina dina, dan sengsara; obat satu-satunya ialah berbuat baik (Subha Karma) lebih khusus lagi adalah Punya Karma. (SS. 4). Orang beriman selalu berusaha menghindari Karma papa (dosa) dan menabung Punya Karma sebanyak-banyaknya. Karma Papa yaitu dosa atau Pataka ada tingkat-tingkatnya ada lebih besar ada juga yang lebih kecil, yaitu :
1. Upa Pataka (dosa kecil)
Yang tergolong ke dalam Upa Pataka adalah :
a. Gowandha = membunuh lembu
b. Yuwati wadha = membunuh wanita
c. Bala wadha = membunuh anak-anak
d. Wrdha wadha = membunuh orang yang tua renta
e. Agaradaha = menyerang dengan senjata dan menyakiti orang
(Slokantara, 15)

2. Maha Pataka (dosa besar)
a. Brahma wadha = membunuh Brahmana
b. Surapang = memaksa pendeta minum minuman keras
c. Suwarna setya = mencuri emas
d. Kanya wighna = memperkosa anak wanita dibawah umur
e. Guru wadha = membunuh guru, dsb
(Slokantara, 16)

3. Ati Pataka (dosa terbesar)
a. Swa putribhajana = memperkosa putri sendiri
b. Mater bhajana = bersenggama dengan ibu sendiri
c. Lingga grahana = merusak pura, dsb.
(Slokantara, 17)

Dosa atau pataka yang disebut sebanyak 13 dalam Slokantara sloka 15-17 ini adalah yang menonjol-menonjol saja, tentu masih sangat banyak lagi yan lain, seperti Brhunahatya (menggugurkan kandungan), Alpaka Guru (berkhianat pada orang tua/guru), Jenek anginum (ketergantungan pada minuman-minuman beralkohol/narkoba), bahkan makan daging maupun ikan tanpa mendoakan rohnya agar diterima Yang Maha Pencipta dan kelak bila lahir kembali semoga berhenti menjadi binatang atau ikan, melainkan menjadi manusia, perilaku ini pun disebut dosa namanya “dosa maya”.

D. WIWEKA
1. Pengertian dan Keutamaan Pikiran
Wiweka artinya daya membedakan.
Daya membedakan antara yang benar dengan yang salah, amal, dan dosa, baik-buruk, sejati dan palsu; ini sangat menentukan “keputusan hati’ yang disebut “Nisacaya Jnana”. Sedangkan “keputusan hati” akan mendorong dan mewarnai ucapan maupun tindakan.


Artinya : “Dadi pwang niscaya jnana lumekas tak ujar, lumekasang maprawerthi”
Bila keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku.
(88. 79)

Jenis atau model serta sifat kata-kata ataupun perilaku yang timbul, sangat tergantung pada Niscaya Jnana.
Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih bijak dan lebih arif dalam “Angraksa acara rahayu” (menjaga agar perilaku tetap benar dan baik). Disini dibutuhkan ketangkasan berpikir. Dalam Kekawin Niti Sastra ada syair sbb :




Artinya : “Wenten wang sugih artha hina sabhimuktinya alpa ring bhusana,
Wenten wong guna manta sila naya hima anut rikang durjana,
Wang dirghayusa wredha hina ytan anuting dhamosastro lahen,
Yekung janma nirarthaka traya wilangnya uripnya nir tan padon.”
Ada orang kaya harta tapi sangat kurang dalam berpakaian dan makan-minum.
Ada orang terpelajar dan susila, tetapi kurang tangkas berpikir akhirnya mengikuti orang-orang jahat.
Ada lagi orang tua yang sudah lama hidup, tapi perilakunya serba menyimpang dari dharma.
Ketiga orang tersebut adalh orang tak sempurna, percuma saja hidup tak ada gunanya.

Menurut Kitab Manawa Dharma Sastra ; diantara yang hidup manusia punya kelebihan daya pikir (Manah), maka kualitas manusia sangat ditentukan oleh kualitas daya pikirnya.





Artinya : Bhutanam paminah sresthan,
Pranimam budhijiwinah,
Buddhimatsu narah srestha,
Nresa brahmanah smrtah,
Diantara sesama ciptaan Tuhan, yang berjiwalah yang lebih utama,
Diantara yang berjiwa yang hidup dengan pikiranlah yang lebih utama,
Diantara yang hidup dengan pikiran manusialah yang lebih utama,
Diantara manusia tak ada yang lebih mulia daripada Brahmana. (Brahmana dalam arti kualitas bukan Kasta)
(M. Bh. S. 1. 96)

Dengan pikiran manusia akan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk antara yang patut dan tak patut.





Artinya : “Ri sakweing sarwa bhuta ikang jatma wong jugaa wenang gumawayaken Subha Asubha Karma, Kuneng panentaksana ri subhakarma juga ikang asubha karma, phalaning dadi wwangika.”
Diantara makhluk mnusia sajalah yang mengerti tentang perbuatan baik atau buruk.
Gunanya hidup menjadi manusia adalah untuk merubah perbuatan-perbuatan buruk ke dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.
(SS. 2)

2. Sifat Bawaan dan Sifat Dasar Manusia
a. YONI
Karma terdahulu akan berpengaruh pada sifat bawaan manusia. Arwah manusia diikuti oleh catatan karmanya yang mau tak mau harus dipertanggungjawabkan di alam akhirat.
Setelah habis dinikmati atau dipertanggungjawabkan, masih ada bekas karma itu disebut “Karma Wasana”.
Karma Wasana menjadi Yoni dibawa lahir ke dunia. Yoni inilah mewarnai sifat bakat, bahkan nasib yang lahir. Justru kesempatan lahir menjadi manusia adalah untuk memperbaiki karma yang telah menjadi Yoni ini yang akumulasinya menjadi “sifat bawaan”.

b. DAIWI SAMPAT – ASURI SAMPAT
Disamping sifat bawaan, tiap manusia mempunyai sifat dasar. Setiap manusia mempunyai sifat-sifat keraksasaan yang disebut “Asuri Sampat”.
“Asuri Sampat” adalah sifat dari “Sarira” atau tubuh manusia yang terbentuk dari Panca Maha Bhuta yang berasal dari Prakerthi yang bersifat gelap (Rau), tanpa kesadaran.
“Daiwi Sampat” adalah sifat Atman yang berbentuk dari Panca Dewa Atma, berasal dari Purusa yang bersifat terang (Ketu), sadar, suci, ringan, hidup, dsb.
Asuri Sampat muncul dalam bentuk kata nafsu, sedangkan Daiwi Sampat muncul dalam bentuk kata suci.
Orang yang bermaksud menjadi bijak, arif, dan susila, perlu belajar membedakan apa sebenarnya diri ini, kemudian membedakan hasrat atau keinginan yang muncul sewaktu-waktu.
Diri ini sesungguhnya Atman atau Sarira (badan)?


Artinya : “Dharmartha kama moksanam sariram sadharmam
Sarira (badan) adalah alat untuk mencapai Dharma (kebenaran), Artha (harta), Kama (kesenangan), dan Moksa (kebebasan jiwa yang abadi).
(Brahma Purana, 228. 45)

Jadi tubuh adalah “alat” sehingga sang diri sesngguhnya adalah Atman yang menggunakan tubuh sebagai alat.
Atman adalah tuan; tuanlah semestinya mengendalikan alat bukan alat memperalat tuan.
Bila timbul keinginan yang bersifat nafsu tanpa kesadaran itu berarti keinginan alat (Asuri Sampat) bukan keinginan diri kita yang sejati, maka perlu dipertimbangkan matang-matang sebelum berbuat.
Bila timbul keinginan yang luhur penuh kesadaran itulah keinginan diri kita yang sesungguhnya, maka jangan ragu untuk mengikuti karena Daiwi Sampat (kata hati suci) selalu benar dan tidak pernah mencelakakan kata orang bijksana.

c. TRI GUNA SAKTI
Ada lagi yang berpengaruh pada alam pikiran (Citta) setiap manusia, yaitu 3 sifat Guna yang disebut Tri Guna Sakti :
1) Sattwam
Sattwam atau Sattwika adalah sifat guna yang serba baik.




Arinya : “Ikang ambek duga-duga drdha, maso ta ya wruh ta ya ri palenan ing wastu lawan maryada, wruh ta yeng iswara tatwa, widagda ya, mamanis ta ya denya n pametwaken wuwusnya, mahaiep pindakara nyawaknya, yeka laksananing citta sattwika.”
Pikiran yang jujur, polos, cerdas dapat membedakan kepalsuan dan kesejatian sesuatu, dapat memahami falsafah ke-Tuhanan, cekatan (berfikir), manis caranya berbicara, halus lembut perilakunya, demikian gejala-gejala pikiran Sattwam.
(W. Pt. T. 17)

2) Rajah
Rajah atau Rajasika adalah sifat yang ambisius.




Artinya : “Ikang ambek krura, lawan ikang ulah krodha katatakut darpata ya sashika ya, panasbharam lobha, capala hasta, capala pada, wakcapaka, tan hana kasihnya. Paleh-paleh masiga, yeka laksananing citta si rajah ngaranya.”
Pikiran yang dahsyat (Angkara), murka menakutkan, suka memaksa dengan serius, ambisius dan loba, ringan tangan, ringan kaki, latah, tidak punya rasa kasihan, susah dilarang, demikianlah yang disebut Rajasika.
(W. Pt. T. 19)

3) Tamah
Pikiran Tamah atau Tamasika adalah pikiran yang bebal dan gelap.



Artinya : “Ikang ambek wedi wedi, luhya angemeh wuk turu, bwat angdwa-dwa, agelen amati-mati, paleh-paleh, putek hati, abwat ulatnya, yeka citta sit amah ngaranya.”
Sifat pikiran yang penakut, letih, lesi penidur, pembohong, bebal, suka membunuh, sembrono, murung hati, berat mulut, berat mata (suka muram), demikianlah sifat-sifat yang disebut Tamasika.
(W. Pt. T. 19)

Ketiga sifat Guna ini (Sattwam, Rajah, Tamah) mempengaruhi pikiran; satu sama lain saling berebut sehingga terjadi tarik-menarik yang sangat kuat.
Sifat mana yang dominan itulah yang akan mewarnai “Niscaya Jnana” yang kemudian memberi corak pada ucapan dan perilaku. Itulah sebabnya perlu Wiweka untuk dapat menentukan yang mana yang harus patut diikuti dan yang mana yang tidak harus diikuti.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Pengetahuan Dasar Etika Hindu"

Posting Komentar